Bagaimana menghitung hari kalau tidak ada malam?
Mungkinkah matahari lupa ingatan, lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit?
Bahkan kiamat pun bicara soal arah yang terbalik, bukan soal perubahan jadwal.
Dia memang benar-benar mewakili karakteristik dari sinar matahari. Menyengat meski tidak membakar. Panas namun tidak menghanguskan. Dia, dengan sikapnya yang berani, berlari menantang apa pun yang ada di depannya. Seolah dia adalah pusat dari segalanya, atau memang mungkin benar, dialah pusat segalanya. Dia pernah menjadi pusat segalanya bagi saya. Kepadanya saya selalu menuju. Ribuan pertanyaan telah terjawab dengan mengagumkan. Saya gak pernah peduli orang lain bilang apa. Karena hanya saya yang bisa melihat dalamnya dia, dan hanya dia yang mengerti dalamnya saya. Saya menujunya setiap kali saya butuh kekuatan untuk berlari, untuk bangkit lagi, untuk menumpahkan segala kerapuhan saya. Di balik segala sikap mandiri, percaya diri, penuh tawa, banyak bicara, semangat, semua berubah ketika bersamanya. Dengan dia saya tidak pernah ragu untuk menangis, untuk tampak terluka, jatuh, sakit dan segala lainnya yang tak pernah tampak oleh siapa pun.
Mungkinkah ada kalanya matahari jenuh untuk bersinar, atau sinarnya sedang tertutup awan?
Ketika kehangatan itu pun terasa semakin panas, semakin membuat saya kegerahan, apa yg harus saya lakukan? Kalau saja matahari tau bahwa saya sedang kepanasan karena sinarnya yang makin lama makin buat saya tidak nyaman. Ketidak nyamanan itu mulai muncul ketika matahari terlalu sibuk menantang apa pun, hingga kejenuhan saya pun tak dapat ia rasakan, hingga kepanasan saya pun tak sempat ia lihat. Ketika air mata yang biasanya saya tumpahkan depan dia karena tekanan dan perlakuan orang lain sekarang semua air mata karena dia, karena perlakuannya. Jangankan ketika mendengarkan saya bicara, catatan-catatan saya tentang dia pun tak pernah dibacanya. Kemana matahari yang selama ini saya kenal? Saya menjerit pun dia nampak tak peduli.
sekian lama saya pucat pasi tanpa sinar matahari.
Dear Sunshine,
Kalau saja ini tulisan terakhir saya untuk kamu.
Saya harap tidak ada lagi kesedihan di dalamnya.
Saya harap tidak ada lagi luka yang ditinggalkan olehmu, atau mungkin oleh saya.
Terima kasih atas sinarnya, jawaban dari ribuan pertanyaannya, pengertiannya akan kegilaan pikiran saya.
aku hanya mencintai dia yang merasakan denyut nadiku,
Mungkinkah matahari lupa ingatan, lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit?
Bahkan kiamat pun bicara soal arah yang terbalik, bukan soal perubahan jadwal.
Dia memang benar-benar mewakili karakteristik dari sinar matahari. Menyengat meski tidak membakar. Panas namun tidak menghanguskan. Dia, dengan sikapnya yang berani, berlari menantang apa pun yang ada di depannya. Seolah dia adalah pusat dari segalanya, atau memang mungkin benar, dialah pusat segalanya. Dia pernah menjadi pusat segalanya bagi saya. Kepadanya saya selalu menuju. Ribuan pertanyaan telah terjawab dengan mengagumkan. Saya gak pernah peduli orang lain bilang apa. Karena hanya saya yang bisa melihat dalamnya dia, dan hanya dia yang mengerti dalamnya saya. Saya menujunya setiap kali saya butuh kekuatan untuk berlari, untuk bangkit lagi, untuk menumpahkan segala kerapuhan saya. Di balik segala sikap mandiri, percaya diri, penuh tawa, banyak bicara, semangat, semua berubah ketika bersamanya. Dengan dia saya tidak pernah ragu untuk menangis, untuk tampak terluka, jatuh, sakit dan segala lainnya yang tak pernah tampak oleh siapa pun.
Mungkinkah ada kalanya matahari jenuh untuk bersinar, atau sinarnya sedang tertutup awan?
Ketika kehangatan itu pun terasa semakin panas, semakin membuat saya kegerahan, apa yg harus saya lakukan? Kalau saja matahari tau bahwa saya sedang kepanasan karena sinarnya yang makin lama makin buat saya tidak nyaman. Ketidak nyamanan itu mulai muncul ketika matahari terlalu sibuk menantang apa pun, hingga kejenuhan saya pun tak dapat ia rasakan, hingga kepanasan saya pun tak sempat ia lihat. Ketika air mata yang biasanya saya tumpahkan depan dia karena tekanan dan perlakuan orang lain sekarang semua air mata karena dia, karena perlakuannya. Jangankan ketika mendengarkan saya bicara, catatan-catatan saya tentang dia pun tak pernah dibacanya. Kemana matahari yang selama ini saya kenal? Saya menjerit pun dia nampak tak peduli.
sekian lama saya pucat pasi tanpa sinar matahari.
Dear Sunshine,
Kalau saja ini tulisan terakhir saya untuk kamu.
Saya harap tidak ada lagi kesedihan di dalamnya.
Saya harap tidak ada lagi luka yang ditinggalkan olehmu, atau mungkin oleh saya.
Terima kasih atas sinarnya, jawaban dari ribuan pertanyaannya, pengertiannya akan kegilaan pikiran saya.
aku hanya mencintai dia yang merasakan denyut nadiku,