Rona Jingga

Apa yang tak selesai kamu mengerti di sini, tak boleh kau tanyakan padaKu di luar.

Pada batu itulah kisahku ini mengkristal.

Jika kita mau membaca kitab-kitab tua sejajar dengan kita membaca dongeng (artinya juga : membaca dongeng sejajar dengan membaca kitab-kitab suci tua), maka kita menjadi lebih rendah hati dan waspada. Rendah hati di sini artinya membuka diri bahwa kitab dan dongeng tua itu mengungkap kebenaran dalam bahasa yang barangkali tak terlalu kita mengerti lagi. Karena bahasa itu mungkin tidak kita mengerti, maka kita tahu kita bisa salah mengerti. Sikap ini, jika diterapkan dalam membaca tanda-tanda, akan membuat kita tidak menerima segala sesuatu mentah-mentah. Sekaligus tidak menolak segala sesuatu mentah-mentah. Bukan, bukan berarti bingung ataupun bimbang karena tak bisa menentukan sikap. Melainkan, berani menunda kebenaran. Berani hidup dengan kebenaran yang tertunda.

Maka, ada waktu-waktu ketika dongeng-dongeng itu tampak seperti benar. Meski demikian pun, kita harus waspada untuk tidak serta-merta bersorak kegirangan. Kita harus tetap sabar dan rela bahwa kebenaran itu selalu bisa diperbaharui sementara kitab-kitab tua berdiam diri. Demikianlah, agar kita jangan gampang terguncang.

Kelak aku mengerti bahwa inilah yang dimaksud dengan sikap kritis. Sebuah sikap yang menyertai “laku-kritik”. Sikap yang mempercayai sesuatu sekaligus menunda sesuatu itu. Sikap yang tahan menanggung, memanggul, penundaan itu. Penundaan kebenaran. Manusia menginginkan kebenaran hari ini juga. Sayangnya, kebenaran itu tak ada hari ini, meski harus dipercaya setiap hari. Kebenaran, jika ia menampakan diri hari ini, tak lain tak bukan adalah kecongkakan. Laku kritik adalah menahan kecongkakan. Ia memikul beban berat itu, agar jangan kebenaran jatuh ke tanah dan menjelma pada hari ini.

Biarlah kebaikan yang menjadi pada hari ini. Bukan kebenaran.

Aliran ini sesungguhnya bukan aliran kepercayaan. Melainkan sebuah “laku-kritik”. Yaitu sikap spiritual-kritis. Ialah sejenis sikap kritis terhadap kebenaran yang dibawakan setiap agama. Sikap kritis di sini tidak selalu datang dengan sikap skeptis. Seorang yang spiritualis-kritis tidak harus meragukan kebenaran. Ia bisa saja beriman. Tapi seorang spiritualis-kritis adalah orang yang sadar bahwa kebenaran selalu tertunda. Tuhan selalu merupakan misteri. Tak seorang pun bisa mewujudkan kebenaran hari ini, sebab kebenaran yang ada hari ini adalah penyelenggaraan kekuasaan semata-mata. Kebenaran hari ini adalah penyelenggaraan dengan cara-cara rakus dan jumawa.

Seorang spiritualis-kritis adalah mereka yang memikul kebenaran. Karena itu mereka hanya memakai cara-cara yang satria dan wigati. Hanya dengan memanggulnya mereka percaya bahwa kebaikan bisa menyatakan diri. Mereka seperti pawang hujan yang memanggul mendung hitam berat, agar hujan tidak turun dan pesta bisa berlangsung. (Catat! Bukan mereka sendiri yang menyatakan kebaikan, tapi kebaikan menyatakan dirinya, bertunas dari bumi. Demikian agar tak seorang pun menjadi sombong.)

Mereka percaya bahwa kebenaran adalah misteri, yang harus mereka pikul selamanya. Sebab hanya dengan memanggulnya misteri itu tidak jatuh ke tanah. Sebab jika misteri itu jatuh ke tanah, kita akan mengiranya sebagai teta-teki yang terpecahkan. Dan kita percaya bahwa jawabannya adalah : Hukum Tuhan. Tapi, kau tahu, misteri bukanlah teka-teki.
Misteri adalah rahasia, yang jawabannya  selalu tertunda. Misteri, kawanku, adalah dia yang jawabannya takkan pernah terpegang. Yang menempatkan kau dalam suasana kepedihan dan harapan sekaligus.

Kebenaran itu selalu dalam future tense. Kebaikan selalu present tense. Sayangnya, bahasa kita tak mengenal penanda kala.

Dan ternyata ada kata yang baik untuk menerjemahkan kritik. Makna yang lebih baik daripada mula kata itu sendiri. Yaitu : sanggah. Dengan demikian, anti adalah penolakan, kritik adalah penyanggahan. Anti dalam bahasa Yunani berarti posisi di hadang. Kritik dalam laku-kritik, adalah posisi di bawah. Yakni, di bawah untuk menyangga. Maka, “menyanggah” harus dimaknai dalam kedekatannya dengan “menyangga”. Agar kita mudah mengerti perbedaan antara anti dan kritis.

Dalam hal kebenaran. Sikap anti adalah sikap menolak dan membuang. Tapi, laku-kritik adalah sikap menyangga kebenaran, yaitu memikulnya agar jangan jatuh ke tanah.
Kebenaran itu seperti ozon. Jika ia berada di ketinggian manusia, terlalu dekat ke tanah maka ia menjadi racun. Ia merusak paru-paru dan menghentikan nafas kita. Tapi, juga hanya dengan lapisan ozon sebagai kulit luar atmosfir sajalah kehidupan bisa bertumbuh di muka bumi. Ozon tak boleh dirusak. Sebab jika ia rusak, maka tak ada lagi yang melindungi kita dari radiasi neraka matahari. Tapi tak boleh terlalu dekat pula. Kita harus menyangganya agar utuh di ketinggian.

Mengertikah kamu? Butuh waktu bagimu untuk mengerti. Begitu pun aku, mungkin aku hanya sekedar tahu, tapi selalu saja belum benar-benar memahaminya.

Apa yang tak selesai kamu mengerti di sini, tak boleh kau tanyakan padaKu di luar.