Manusia mungkin tidak punya kapasitas untuk mengampuni, maka yang bisa kita lakukan adalah berdamai. Berdamai dengan sisi gelap yang tak bisa kita kuasai, yang tak pernah bisa kita fahami. Demikian pula. Kami mungkin tidak punya kemampuan untuk menghapus cinta. Kami hanya bisa mencoba berdamai dengan perasaan itu dalam diri masing-masing. Semoga kelak cinta sublim dalam narasi. Seperti semula.
Terdapat perbedaan yang pokok antara Parang Jati dan Sandi Yuda. Keduanya pemuda yang selalu mengajukan gugatan. Tapi Parang Jati menggugat dengan rasa hormat, Yuda menggugat sebab ia suka melawan. Yuda adalah seorang yang sinis. Parang Jati adalah seorang yang kritis.
Betapa saya masih jatuh cinta. Kebaruan cinta itu tentu saja membuat Jati lebih berkilau dari pada Yuda. Saya merasa Parang Jati lebih mulia daripada Yuda. Tapi, barangkali kebaikan itu juga yang membuat Parang Jati kehilangan kemampuan untuk mentertawakan dunia. Dan kelucuan. Yuda lebih pandai membuat saya terkikik dan terbahak. Senyum Parang Jati lebih manis. Sepasang lesung pipit dan gigi yang berbaris rapih bagai menggambarkan suatu disiplin dalam dirinya. Rambutnya yang sedikit ikal bagai menandakan kelembutannya. Tawa Yuda lebih lepas. Giginya yang sedikit berantakan menandakan keliarannya. Rambutnya yang lurus kaku bagai menggambarkan sesuatu yang kasar. Tiba-tiba saya menyadari bahwa saya tidak sedang membandingka nilai dua lelaki yang saya sayang. Saya sedang melihat perbedaan karakter manusia, yang barangkali tidak harus selalu diberi peringkat mana yang lebih baik mana yang lebih buruk. Yuda dengan segala keliaran dan kelepasannya. Jati dengan segala ketertiban dan kontrol dirinya.
Artinya, masing-masing dari kita memiliki peran.
Saya telah mengalami yang lain. Sang Liyan. Saya berharap cinta saya kepada Yuda akan kembali perlahan-lahan seperti semula. Mengenai Parang Jati, saya bahagia bahwa ada lidah api yang murub dalam hati. Menyala, tanpa membakar. Barangkali lidah api itu pula yang mengantarnya menaiki tangga dari lorong kamadatu kepada rupadatu. Saya bahagia bahwa kami tak pernah menyangkal ketertarikan di antara kami. Kami melewatinya. Bagai melalui batur candi yang menggmbarkan dunia hasrat, kepada lantai dunia sublim. Alam kamadatu kepada rupadatu, dalam candi Budha. Bhurloka kepada bhuwarloka, dalam candi Hindu. Sementara dunia tanpa rupa-arupadatu, swarloka-adalah misteri yang barangkali tak akan teralami dalam hidup ini. Atau dalam masa muda yang riang dan penuh gairah.
Terdapat perbedaan yang pokok antara Parang Jati dan Sandi Yuda. Keduanya pemuda yang selalu mengajukan gugatan. Tapi Parang Jati menggugat dengan rasa hormat, Yuda menggugat sebab ia suka melawan. Yuda adalah seorang yang sinis. Parang Jati adalah seorang yang kritis.
Betapa saya masih jatuh cinta. Kebaruan cinta itu tentu saja membuat Jati lebih berkilau dari pada Yuda. Saya merasa Parang Jati lebih mulia daripada Yuda. Tapi, barangkali kebaikan itu juga yang membuat Parang Jati kehilangan kemampuan untuk mentertawakan dunia. Dan kelucuan. Yuda lebih pandai membuat saya terkikik dan terbahak. Senyum Parang Jati lebih manis. Sepasang lesung pipit dan gigi yang berbaris rapih bagai menggambarkan suatu disiplin dalam dirinya. Rambutnya yang sedikit ikal bagai menandakan kelembutannya. Tawa Yuda lebih lepas. Giginya yang sedikit berantakan menandakan keliarannya. Rambutnya yang lurus kaku bagai menggambarkan sesuatu yang kasar. Tiba-tiba saya menyadari bahwa saya tidak sedang membandingka nilai dua lelaki yang saya sayang. Saya sedang melihat perbedaan karakter manusia, yang barangkali tidak harus selalu diberi peringkat mana yang lebih baik mana yang lebih buruk. Yuda dengan segala keliaran dan kelepasannya. Jati dengan segala ketertiban dan kontrol dirinya.
Artinya, masing-masing dari kita memiliki peran.
Saya telah mengalami yang lain. Sang Liyan. Saya berharap cinta saya kepada Yuda akan kembali perlahan-lahan seperti semula. Mengenai Parang Jati, saya bahagia bahwa ada lidah api yang murub dalam hati. Menyala, tanpa membakar. Barangkali lidah api itu pula yang mengantarnya menaiki tangga dari lorong kamadatu kepada rupadatu. Saya bahagia bahwa kami tak pernah menyangkal ketertarikan di antara kami. Kami melewatinya. Bagai melalui batur candi yang menggmbarkan dunia hasrat, kepada lantai dunia sublim. Alam kamadatu kepada rupadatu, dalam candi Budha. Bhurloka kepada bhuwarloka, dalam candi Hindu. Sementara dunia tanpa rupa-arupadatu, swarloka-adalah misteri yang barangkali tak akan teralami dalam hidup ini. Atau dalam masa muda yang riang dan penuh gairah.