Ketika saya sibuk berpikir tentang keanehan yang terjadi belakangan ini, dan tak jua menemukan jawabannya, tiba-tiba saya ingat akan sistem bilangan Hu yang belakangan ini saya coba pahami.
Bilangan Hu adalah sistem bilangan aneh. Sistem bilangan yang berbasis dua belas, bukan sepuluh seperti yang kita kenal sekarang ini. Sistem bilangan kuno, yang pernah hidup di masa lalu, yang mengacu pada tanda-tanda alam. Sebab, bulan muncul dua belas kali dalam satu putaran yang disebut tahun. Sebab, ada dua belas rasi bintang utama. Sebab, ada dua belas nada dalam satu tangga. Bilangan dua belas tersedia di alam. Dan setelah dua belas bilangan itu, ada bilangan Hu yang terletak antara ada dan tiada. Seperti rasi ke-tiga belas yang tak begitu jelas.
Dalam sistem berbasis dua belas, ada yang tak akan pernah jelas.
Sesuatu yang selalu lain dari yang baku. Sang Liyan. Logika formal yang lurus bukan satu-satunya penjelasan dunia. Logika yang lurus mengandaikan semua informasi memadai. Logika yang lurus hanya bisa bekerja jika data-data lengkap. Tapi, dalam hidup ini, pengetahuan kita tidak seluas kehidupan. Karena itu, kita lebih sering ada dalam situasi kekurangan data. Untuk itu dibutuhkan cara berpikir lain. Yaitu, melihat data-data yang tersedia sebagai keping-keping teka-teki yang harus dihubungkan satu sama lain. Untuk itu, pertama, kita harus memandang dan meresapi keping-keping yang telah kita punya, agar kita mengingatnya. Hanya dengan mengingatnya luar kepala kita mudah menghubungkan dengan keping lain. Kedua, kita harus mengambil jarak dari keping-keping itu, agar bisa melihatnya dari kejauhan dan membayangkan gambar besar yang bisa terbentuk. Dan jikapun kita bisa membayangkan gambar besar itu, tetap ada keping-keping yang kosong. Ini proses berpikir yang berbeda sama sekali dari logika formal.
Sistem bilangan Hu tidak lebih benar dari sistem bilangan desimal. Sama seperti berpikir lateral tidak lebih benar daripada berpikir linear. Juga sebaliknya. Keduanya adalah sistem yang berbeda. Tapi hanya dengan sistem alternatif, sistem yang lain, maka kita bisa tahu bahwa sistem yang pertama bukan satu-satunya kebenaran. Adanya yang lain adalah demikian penting. Yang lain. Sang Liyan.
Agar jangan manusia sombong karena menganggap keping yang mereka miliki sebagai seluruh gambaran.
Saya membiarkan gravitasi yang aneh menyusun keping-keping pengalaman dalam aturan alamiah. Lihatlah, gravitasi tidak hanya mengatur tubuh saya. Gravitasi juga mengatur kesadaran saya. Dengan caranya sendiri. Ritual momoen-momen sunyi. Saat-saat tanpa kata. Saat-saat tanpa bahasa, barangkali. Sebab bahasa memang membantu kita mengerti dunia dengan sebuah cara, tapi pada saat yang sama membuat kita berjarak dari dunia. Momen sunyi barangkali membuat kita mengalami kembali dunia tanpa jarak. Sebuah cara lain mengerti dunia.
Maka saya pun menghentikan bahasa dan mencoba memahami malam. Saya membiarkan diri saya merambang di ketinggian sementara gravitasi menyusun ulang kesadarannya, bagaikan momen defragmentasi dalam komputer. Jatuh tertidur seperti layar monitor yang mematikan nyala, sementara di dalamnya komputer tetap berdenyut menyusun data. Saya terbangun dengan sebuah pemahaman baru. Pemahaman lain. Saya merasa ajaib.
Orang menyebutnya ilham. Tapi bisa saja itu datang dari suatu proses, setelah kita membiarkan diri mengalami yang lain. Jika pun kita berhasil memecahkan teka-teki, maka ada yang tetap merupakan misteri. Yaitu, bagaimana data-data itu bisa mendatangi kita secara kebetulan.
Sistem bilangan Hu dan sang Liyan membangunkan saya dari tidur panjang yang saya kira sudah cukup terjaga. Terjaga dari mimpi yang selalu saya coba betot lambungannya. Tapi tenyata saya belum benar-benar terjaga. Saya merasa bodoh karena ternyata hiruk-pikuk rezim pembangunan, debu-debu kota yang menutupi pori-pori, menutup juga telinga saya dari suara-suara halus yang seharusnya saya dengar.
Kadang saya merasa ada saat di mana semua benda berteriak, mereka menjadi begitu nyaring. Tapi terkadang saya juga ikut berteriak bersama mereka.
Bilangan Hu adalah sistem bilangan aneh. Sistem bilangan yang berbasis dua belas, bukan sepuluh seperti yang kita kenal sekarang ini. Sistem bilangan kuno, yang pernah hidup di masa lalu, yang mengacu pada tanda-tanda alam. Sebab, bulan muncul dua belas kali dalam satu putaran yang disebut tahun. Sebab, ada dua belas rasi bintang utama. Sebab, ada dua belas nada dalam satu tangga. Bilangan dua belas tersedia di alam. Dan setelah dua belas bilangan itu, ada bilangan Hu yang terletak antara ada dan tiada. Seperti rasi ke-tiga belas yang tak begitu jelas.
Dalam sistem berbasis dua belas, ada yang tak akan pernah jelas.
Sesuatu yang selalu lain dari yang baku. Sang Liyan. Logika formal yang lurus bukan satu-satunya penjelasan dunia. Logika yang lurus mengandaikan semua informasi memadai. Logika yang lurus hanya bisa bekerja jika data-data lengkap. Tapi, dalam hidup ini, pengetahuan kita tidak seluas kehidupan. Karena itu, kita lebih sering ada dalam situasi kekurangan data. Untuk itu dibutuhkan cara berpikir lain. Yaitu, melihat data-data yang tersedia sebagai keping-keping teka-teki yang harus dihubungkan satu sama lain. Untuk itu, pertama, kita harus memandang dan meresapi keping-keping yang telah kita punya, agar kita mengingatnya. Hanya dengan mengingatnya luar kepala kita mudah menghubungkan dengan keping lain. Kedua, kita harus mengambil jarak dari keping-keping itu, agar bisa melihatnya dari kejauhan dan membayangkan gambar besar yang bisa terbentuk. Dan jikapun kita bisa membayangkan gambar besar itu, tetap ada keping-keping yang kosong. Ini proses berpikir yang berbeda sama sekali dari logika formal.
Sistem bilangan Hu tidak lebih benar dari sistem bilangan desimal. Sama seperti berpikir lateral tidak lebih benar daripada berpikir linear. Juga sebaliknya. Keduanya adalah sistem yang berbeda. Tapi hanya dengan sistem alternatif, sistem yang lain, maka kita bisa tahu bahwa sistem yang pertama bukan satu-satunya kebenaran. Adanya yang lain adalah demikian penting. Yang lain. Sang Liyan.
Agar jangan manusia sombong karena menganggap keping yang mereka miliki sebagai seluruh gambaran.
Saya membiarkan gravitasi yang aneh menyusun keping-keping pengalaman dalam aturan alamiah. Lihatlah, gravitasi tidak hanya mengatur tubuh saya. Gravitasi juga mengatur kesadaran saya. Dengan caranya sendiri. Ritual momoen-momen sunyi. Saat-saat tanpa kata. Saat-saat tanpa bahasa, barangkali. Sebab bahasa memang membantu kita mengerti dunia dengan sebuah cara, tapi pada saat yang sama membuat kita berjarak dari dunia. Momen sunyi barangkali membuat kita mengalami kembali dunia tanpa jarak. Sebuah cara lain mengerti dunia.
Maka saya pun menghentikan bahasa dan mencoba memahami malam. Saya membiarkan diri saya merambang di ketinggian sementara gravitasi menyusun ulang kesadarannya, bagaikan momen defragmentasi dalam komputer. Jatuh tertidur seperti layar monitor yang mematikan nyala, sementara di dalamnya komputer tetap berdenyut menyusun data. Saya terbangun dengan sebuah pemahaman baru. Pemahaman lain. Saya merasa ajaib.
Orang menyebutnya ilham. Tapi bisa saja itu datang dari suatu proses, setelah kita membiarkan diri mengalami yang lain. Jika pun kita berhasil memecahkan teka-teki, maka ada yang tetap merupakan misteri. Yaitu, bagaimana data-data itu bisa mendatangi kita secara kebetulan.
Sistem bilangan Hu dan sang Liyan membangunkan saya dari tidur panjang yang saya kira sudah cukup terjaga. Terjaga dari mimpi yang selalu saya coba betot lambungannya. Tapi tenyata saya belum benar-benar terjaga. Saya merasa bodoh karena ternyata hiruk-pikuk rezim pembangunan, debu-debu kota yang menutupi pori-pori, menutup juga telinga saya dari suara-suara halus yang seharusnya saya dengar.
Kadang saya merasa ada saat di mana semua benda berteriak, mereka menjadi begitu nyaring. Tapi terkadang saya juga ikut berteriak bersama mereka.
Manjali dan Cakrabirawa